3
The Outstanding Group-Grup Istimewa
Cahaya matahari mulai menembus jendela kamarku. Mataku pun di
buatkan silau. Dengan rasa berat, ku bukakan kelopak mataku. Ku lirik jam
dinding yang ada di kamarku.
“Apa,..?!” pekikku segera bangun dan berlari menuju ke kamar mandi.
Jarum jam yang panjang berdiri di atas angka sebelas sedangkan jarum
jam yang pendek berdiri di atas angka tujuh. Dengan sekuat tenaga aku berlari
menuju ke kelas Cosinus. Berharap masih ada waktu untuk masuk ke kelas.
Aku pun berhasil tiba di depan halaman kelas Cosinus. Ku lihat pintu
kelas Cosinus mahh terbuka. Dengan sisa tenaga yang ku miliki aku berlari
menghampiri kelas.
“Selamat pagi,..” ujarku terengah-engah.
“Selamat pagi Dinada,..” sahut Prof. Nitra yang sedikit
terheran-heran melihatku.
Sejenak suasana hening, sampai suara perutku yang lapar karena tak
sarapan pagi berbunyi. Aku pun menarik urat senyumku.
“Masuklah” sahut Prof. Nitra seraya menggelengkan kepalanya.
Aku pun masuk ke kelas dan duduk di bangkuku. Pelajaran pun terus
berlangsung, konsentrasiku sedikit terpecah karena perutku yang selalu
mengeluarkan bunyi di saat aku sedang belajar.
Saat aku sedang sibuk memikirkan perutku yang selalu menggangguku,
tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dan masuk ke dalam kelas.
“Permisi Proffesor Nitra Nelida, boleh saya meminjam Nona Amriyani,
Kepala Sekolah memanggilnya” ujar Proffesor Mulya Dinata, di tengah-tengah
pelajaran.
“Silahkan” sahut Prof. Nitra.
Aku pun berjalan meninggalkan kelas.
“Maaf Proffesor, ada apa ?” tanyaku kebingungan.
“Nanti kau akan tahu sendiri” sahutnya.
Aku berjalan di belakang Prof. Mulya yang membimbingku berjalan
menuju ke sebuah bangunan yang ku kenal itu adalah ruang kerja kepala sekolah.
Di tariknya pegangan pintu ruangan itu. Di balik pintu itu berdiri dua orang
siswa, Lionel dan Fenichi Kudo.
“Baiklah, kalian semua telah aku kumpulkan. Kalian tahu kenapa kalian
kami kumpulkan disini ?” tanya Kepala sekolah.
Tak ada satupun siswa yang berkata. Suasana hening semenjak Kepala
sekolah mengakhiri kalimatnya.
“Baiklah, kami ingin kalian memecahkan kasus yang ada di pulau Nias,
esok hari. Besok kalian akan berangkat bersamaku, dan Acceptable Group-Grup
Baik. Tepat pada jam 08:00 kita bertolak dari sini” ujarnya.
“Kenapa dia merahasiakan kenapa kita yang harus pergi ?” tanya
Fenichi setelah keluar dari ruangan itu.
“Test yang ada di dR School selalu mendadak dan mereka akan
merahasiakan test itu” jawab Lionel sambil lalu.
“Eh, kau belum memberitahuku. Apa yang kau lakukan dengan Lionel
kemarin ?” tanya Fenichi sesaat setelah Lionel menjauh dari jangkauan mereka.
”Dia hanya mengatakan bahwa kita akan di test. Hanya itu” jawabku
singkat.
* * *
“Kenapa kau ada disini ?” tanya Kaito sinis pada Fenichi.
“Kepala sekolah memintaku ikut” ujar Fenichi. Suara mereka berdua
bergema di aula yang kosong.
“Baiklah, semua murid telah berkumpul, kita berangkat saja sekarang”
ujar Kepala sekolah yang baru saja datang.
Di sepanjang jalan tak ada satu pun yang berbicara. Keheningan
menemaniku sepanjang perjalanan. Lionel sibuk dengan MP3-nya. Fenichi masih
merasa jengkel pada kakaknya yang sok tahu. Mereka semua memiliki kesibukannya
masing-masing.
Akhirnya, aku dan rombongan sampai di sebuah dermaga.
“Selamat pagi” ujar seorang nelayan yang bertubuh gemuk.
“Selamat pagi” sahut Kepala sekolah.
Aku dan rombongan di antarkan ke sebuah kapal Speedboat.
“Maaf, Tuan-Tuan dan nona, kapalnya memang begini” ujar nelayan itu
saat melihat rombongan yang mulai merasakan mual.
“Kapal yang menuju pulau hanya ada satu dalam seminggu. Maka dari
itu, hari ini bertahanlah dengan kapal ini” lanjutnya.
“Ngomong-ngomong ada perlu apa dengan keluarga Bennet ? apa soal
Tuan Daniel Bennet ?” tanya nelayan itu serba ingin tahu.
“Daniel Bennet ?” tanya Kepala sekolah sambil menahan rasa mual.
“Ya, anak kedua dari lima bersaudara Bennet. Kasihan keluarga
Bennet, beberapa bulan yang lalu, Tuan Precious yang jadi kepala keluarga itu
meninggal. Kelima bersaudara itu pun mewarisinya. Tetapi, beberapa minggu
setelahnya, Tuan Daniel tewas karena jatuh dari tebing. Keluarga Bennet adalah
kepala nelayan yang menguasai pulau ini. Kalau kemalangan ini terus berlanjut,
entah bagaimana jadinya nanti” cerita si nelayan.
“Nah, kita sudah sampai” ujar Nelayan itu mematikan mesin kapal.
“Hei ada apa itu ?” ujar Kepala sekolah.
“Hei, ada apa ?” teriak nelayan itu pada seseorang di tepi laut.
“Celaka, Tuan Mustafic tewas tenggelam” sahut orang itu.
“Apa, celaka, Tuan Mustafic kan anak ketiga dari keluarga Bennet”
ujar nelayan itu.
Secepatnya, aku dan rombongan berbaur dengan penduduk yang sedang
sibuk mengamati mayat Tuan Mustafic.
“Dia hanyut di pelabuhan” ujar laki-laki tua pada polisi yang sedang
mengidentifikasi mayat itu.
“Mustafic,…” teriak seorang pria yang menerobos masuk ke kumpulan.
“Minggir kau,.. minggir” bentaknya pada penduduk yang sedang
berkumpul.
“Ini jelas-jelas pembunuhan” celetuk Lionel Lewis dengan suaranya
yang dingin.
“Apa maksudmu ? dan siapa kamu sebenarnya ?” bentak Tuan Masturi.
“Maaf Tuan, kami dari dR School” jawab Kepala sekolah.
“dR School ? pemecah teka-teki ? siapa yang memanggilmu kemari ?”
sahutnya.
“Aku yang memanggilnya” sahut seorang pria tinggi kurus dengan nada
ketakutan.
“Jadi, kaukah Masrezwan Bennet ?” potong Kepala sekolah.
“Benar, itu aku. Tapi, semua sudah terlambat. Kali ini Mustafic,..di
bunuh oleh orang itu,..” ujarnya mulai menangis.
“Apa maksudmu dengan pembunuhan Lionel ?” tanyaku heran.
“Lihatlah, di bagian lehernya ada lilitan tali. Mungkin setelah
membunuh, si pelaku menenggelamkannya ke laut” ujar Lionel menunjukan luka
bekas lilitan tali di lehernya.
* * *
“Hei,
apa dengan tujuh orang ini kasus ini bisa terpecahkan ?” tanya Tuan Masturi
sombong.
“Uek,..” suara Kepala sekolah tersedak saat meminum teh yang di
hidangkan di rumah keluarga Bennet.
“Kakak, mereka ini pemecah teka-teki yang handal kak” sahut
Masrezwan.
“Baiklah, kalian akan ku sewa. Aku akan kegudang, kau saja yang
cerita” ujarnya sambil lalu. Dia berjalan menuju ke luar rumah dan menghilang
di ujung jalan.
“Maaf, tadi anda mengatakan ‘orang itu’ siapa dia sebenarnya ?”
tanya Lionel masih dengan suaranya yang dingin.
“Orang itu adalah Aide Baihakki, dia adalah anak bungsu dari
Keluarga Baihakki yang selamat dari kebakaran yang terjadi beberapa tahun lalu.
Keluarga Baihakki mengira keluarga Bennet-lah yang sengaja membakar rumah
mereka. Karena mereka pun ingin menjadi kepala nelayan di pulau ini” ujar
Masrezwan. “Semua keluarganya tewas terbakar, tapi, Aide berhasil selamat dari
kebakaran itu dan hilang entah kemana” lanjutnya.
“Jadi, Aide kembali ke pulau ini dan membalas dendam ke keluarga
Bennet ini ?” tanya Kaito sok menganalisis.
“I,..iya”
“Apakah rumah keluarga Baihakki ada di pulau ini ?” tanyaku pada
Masrezwan.
“Tentu saja” sahutnya.
“Bisakah anda mengantarkan kami ke sana ?” pinta Khairul Amri.
“Baiklah” sahutnya.
“Rusaknya parah sekali,..” sahut Sinichi saat melihat bangunan yang
hanya tersisa pondasi-pondasi yang hitam terbakar di tengah hutan lebat.
“Benar, tak ada satu pun yang dapat di selamatkan” sambung Fenichi.
“Tapi, Aide berhasil selamat dari kebakaran itu” sahut Masrezwan.
“Hei, ternyata tempat ini tak jauh dari pantai” seru Sinichi saat
mendengar suara ombak.
“Tentu saja, ini adalah ujung pulau” sahut Masrezwan.
“Ayo kita kesana” ajak Sinichi menarik tangan Fenichi.
“Masih sempat-sempatnya memikirkan itu di dalam situasi seperti ini”
desis Lionel.
“Kenapa ?” tanyaku tersenyum.
Kuamati pipinya berubah menjadi merah.
“Tidak apa-apa” sahutnya menyadarkan dirinya.
Aku dan Lionel dan juga Masrezwan berjalan menghampiri pantai. Di
bibir pantai berdiri nelayan yang tadi mengantarkan rombongan dR School ke
pulau ini.
“Tuan Masrezwan, tak ku sangka jadi begini” sahut Nelayan itu.
Masrezwan hanya tersenyum yang tampaknya senyum sedih, tapi, aku
merasa ada sesuatu yang ganjil dengan senyumannya itu.
“Kebetulan sekali” desis Lionel. “Pak, apa hari ini ada kapal yang
keluar dari pulau ini ?” tanya Lionel pada nelayan itu.
“Ah, hari ini ? tak ada kapal yang keluar” jawab nelayan itu.
“Aide terakhir terlihat di pulau ini tepat pada jam 8 pagi. Untuk
keluar pulau harus memakai kapal, jika tidak ada kapal yang berangkat, maka dia
masih ada di pulau ini”sahutku.
“Apa hanya disini kapal keluar masuk ?” tanya Lionel lagi.
“Ya, tentu saja, selain pelabuhan ini, seluruh pulau di kelilingi
oleh tebing-tebing yang curam” sahutnya.
“Apa dalam beberapa hari ini ada orang asing yang masuk ke pulau ini
?” tanyaku pada nelayan itu.
“Tidak,.. selain rombongan anda” sahut nelayan.
‘Jadi, bagaimana si pelaku bisa masuk ke pulau ini ?’
* * *
“Selamat makan” seru Fenichi saat hidangan makan malam di hidangkan.
Aku menyiku tangannya memberi isyarat agar dia sedikit menjaga
perilakunya.
Sesosok wanita cantik berjalan memasuki ruang makan. Wajahnya begitu
anggun, senyumnya mekar di wajahnya yang putih.
“Oh, iya, saya belum memperkenalkan adik bungsuku. Minera Bennet”
ujar Masrezwan memperkenalkan adik perempuannya itu.
“Maaf, tadi saya sedang berada di kebun, jadi saya tidak tahu ada
tamu di rumah. Saat saya datang, anda semua sedang tak ada di rumah” sahut
perempuan cantik itu.
“Anda punya kebun ?” tanyaku heran.
“Tentu saja, kebun itu penuh dengan sayuran yang kami jual ke pasar”
sahut Minera dengan suaranya yang lembut.
“Oh, iya dimana Tuan Masturi. Apa dia tidak makan siang bersama kami
?” tanya Kepala Sekolah.
“Oh, dia sedang tidur sekarang” sahut Masrezwan.
“Maaf, nona Minera boleh kami pergi ke kebun anda ?” tanya Fenichi.
“Tentu saja” sahutnya tersenyum manis.
* * *
“Ini dia kebun kami” seru Minera dengan senyumnya yang tak
putus-putusnya ia mekarkan di wajahnya.
“Wah,.. indah sekali,..” sahut Fenichi penuh rasa kagum.
“Kebun ini terawat sekali” seruku kagum.
“Sama sekali tak ada yang aneh dengan kebun ini” sahut Lionel
dingin.
Minera berjalan menghampiriku dengan Lionel.
“Hai, aku lihat kalian selalu berdua, apa kalian sedang menjalin
hubungan yah ?” tanya Minera, tiba-tiba saja pipiku terasa begitu panas. Aku
sadar bahwa wajahku telah memerah.
“Ti,..tidak” sahutku menyangkal.
Kuamati wajah Lionel yang juga ikut memerah.
“Oh,.. iya, boleh aku bertanya padamu ?” sahut Lionel menyadarkan
dirinya, wajahnya pun kembali seperti semula.
“Silahkan” sahut Minera.
“Apa pekerjaan Masrezwan ?”
“Dia seorang Arsitek. Dia orang yang antusias. Aku dan dia sangat
berbeda, dia seorang Arsitek tapi, aku hanya mengurus kebun ini” sahutnya.
“Dia sangat tunduk pada kakak Masturi tapi, dia selalu menekanku
untuk melakukan sesuatu yang tak mau ku lakukan” lanjutnya.
“Minera,... !!” seru Masrezwan yang berteriak di ujung jalan kebun
itu. “Cepat Kembali,.. sesuatu terjadi dengan Kakak Masturi,..” teriaknya.
Dengan secepatnya, minera berlari menghampiri Masrezwan. Dengan rasa
kebingungan yang masih menyelimuti, kami pun ikut berlari bersama Minera.
Semua mata terbelalak saat melihat mayat Masturi yang bersandar di
dinding dengan noda darah di dinding dekat lehernya. Jerit Minera mewarnai
suasana saat itu. Semua orang panik melihat kejadian itu. Lionel berjalan
menghampiri mayat Masturi. Tangannya yang dingin menyentuh nadi yang ada di
leher Masturi.
“Celaka, dia sudah meninggal” ujarnya datar.
Dalam sekejap rumah keluarga Bennet di penuhi begitu banyak penduduk
yang ingin melihat kejadian yang sebenarnya.
“Dia meninggal kehabisan darah akibat pembuluh darah di lehernya di
potong benda tajam dan halus” ujar Lionel dingin.
“Ada dompet kosong di tempat kejadian, milik korban” sahut Shinichi.
“Mungkin ada orang yang mau mencuri dompetnya tapi, ketahuan. Agar
tak terjadi keributan, maka si pelaku menusuknya dengan benda tajam” sahut
Kaito sok memecahkan masalah.
“Tidak, dia bukan di tusuk. Itu bukan luka tusukan, tapi luka
sayatan benda tajam dan tipis” sangkalku.
“Korban meninggal di lantai dua, si pelaku tidak mungkin keluar dari
jendela kamar ini, kamar ini tingginya sekitar tiga meter. Jika si pelaku
melompat, itu akan membahayakan dirinya sendiri. Jadi, kurasa pelakunya masih
ada di sekitar kita” sahut Fenichi. Serentak isak tangis Minera pun terhenti.
“Saya rasa senjata yang di gunakan si pelaku itu, semacam silet yang
tipis” sahutku.
“Wah,.. kasihan sekali keluarga Bennet. Semua anak hasil pernikahan
pertama Precious dengan Arwen tewas di bunuh orang yang tak di kenal. Tinggal
dua anak hasil pernikahan keduanya dengan Rivera, Masrezwan dan Minera” celetuk
seorang penduduk.
“Maaf, pernikahan kedua ?” tanya Lionel.
“Iya, Precious menikah untuk kedua kalinya setelah isteri pertamanya
meninggal. Anak-anak hasil pernikahan pertamanya memprotes tak mau menerima.
Tapi, apa boleh buat kejadian itu akhirnya terjadi” jawabnya.
“Apa yang kau temukan Lionel ?” tanyaku.
“Misteri ini akan segera terbuka” sahutnya.
Dia menghampiri Masrezwan yang sedang duduk termenung. Wajahnya tak
basah oleh air mata.
“Kau tampak tegar Masrezwan” salut Lionel.
“Tidak, aku bukan tegar. Aku pengecut,.. sejak kecil aku dilahirkan
dengan tubuh yang lemah” sahutnya.
Beberapa waktu kemudian, rumah itu sudah tak terlampau penuh.
Tinggallah rombongan dR School, Polisi, Masrezwan dan Minera.
“Kurasa semua telah terjawab” sahut Lionel.
“Apa maksudmu ?” ujar Masrezwan.
“Semua kejanggalan telah terjawab. Terbunuhnya keluarga Bennet beda
ibu telah terungkap” ujar Lionel.
“Apa maksudmu dengan beda ibu ?” sahut Kaito.
“Semua yang tewas adalah anggota keluarga Bennet dari ibu yang
pertama. Sedangkan yang selamat adalah anggota keluarga Bennet dari ibu yang
kedua. Benarkan ?” lanjutnya.
“Di kasus ini, ada Faktor balas dendam” celetukku.
“Tepat, balas dendam, motif sebenarnya. Dan pelakunya adalah kalian
berdua. Masrezwan dan Minera,..” seru Lionel.
“Apa,.. ? kau jangan mengada-ngada !!” bentak Masrezwan. Kini
Masrezwan tampak seperti orang yang liar. Tak seperti pertama kali kami
bertemu.
‘Bruk,..’ Minera menjatuhkan diri di lantai.
“Sudahlah kak,.. katakanlah yang sesungguhnya” ujar Minera.
“Apa maksudmu Minera ?” bentak Masrezwan dengan mata yang merah
menahan amarah.
“Kami memang pelakunya,.. aku yang membunuh Mustafic,.. dengan tali
yang di berikan oleh Masrezwan. Sebenarnya aku tak mau melakukannya, tapi, dia
selalu saja menekanku,..” teriak Minera sambil terisak menangis.
“Kau,.. kau yang membunuh Masturi dengan meteranmu. Katakan yang
sebenarnya ayo katakan” bentak Minera pada Masrezwan.
“Baiklah, aku mengaku, aku yang membunuh mereka semua. Aku sakit
hati. Mereka selalu saja mengejekku, mereka selalu mengasingkanku. Karena
mereka tahu aku bukan dari ibu yang sama. Tapi,kenapa ?” teriaknya marah.
Akhirnya Masrezwan dan Minera masuk ke penjara dan divonis hukuman
seumur hidup.
“Kerja bagus anak-anak” salut Kepala sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar