Selasa, 08 September 2015

dR School part 1 : bab 1


1
Cosinus, Sinus dan Tangen

Singapore, negara maju yang besar di benua Asia Tenggara. Siapa sangka di negara yang begitu maju ini, berdiri megah gedung sekolah yang mengajarkan siswa-siswinya cara untuk memecahkan teka-teki yang begitu rumit. dR School, atau Darma’s Riddle School-Sekolah Teka-teki Darma.
“Halte Bus dR School” seru kondektur bus memberitahukan pada para penumpang, seketika bus pun berhenti tepat di depan halte bus yang bertuliskan ‘dR School halte bus’.
Ku tarik pandanganku kembali dan ku baca secarik kertas yang ku genggam. “Halte Bus dR School” desisku membaca tulisan yang di cetak tebal di peta. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun bergegas turun dari bus itu. Aneh, di sekitarku hanya berdiri pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Semua tampak seperti kebun pinus yang telah di rawat bertahun-tahun. Kembali ku amati peta yang ku genggam. Dengan sedikit rasa percaya diri, aku melangkah ke arah kiri beberapa langkah. Selang satu menit aku berjalan, akhirnya aku menemukan jalan menuju gerbang masuk dR School.
Pagar besi yang tinggi berdiri kokoh. Pintu itu nyaris ditelan oleh ribuan pohon pinus di sekitarnya. Lambang dR School terpajang indah di pintu tersebut. Dengan mata yang masih terkagum-kagum, aku berjalan mendekati pintu megah itu.
‘Krek,…’ tiba-tiba pintu itu terbuka setelah ku sentuh permukaannya. Ku dorong pintu itu, bangunan zaman romawi berdiri di balik pintu gerbang itu. Gemericik air di dalam kolam memecah keheningan suasana di dalam sana.
‘Duk,..’ pintu itu tertutup tiba-tiba. Dari saat itu, rasa tegang menyelimuti perasaanku. Dengan seksama kuamati keadaan sekitar yang tampak begitu tenang. Tiba-tiba terdengar suara langkah yang terburu-buru beriringan dengan dialog yang ku dengar.
“Saya sudah katakan, semuanya harus berjalan dengan lancar dan tak akan ada satu pun gangguan” ujar seorang wanita.
Di ujung lorong, aku melihat sesosok wanita dengan stelan jass hitam. Rambutnya di gulung di belakang kepalanya, dan kacamatanya menempel di batang hidungnya yang lancip. Wanita itu melirik ke arahku, tiba-tiba saja dia terpaku menatapku dan menghentikan langkahnya.
“Saya tahu itu, tapi, masalah yang sedang kita hadapi sekarang adalah…” sahut wanita yang kedua muncul di samping wanita yang pertama tadi, tapi, dia tak menyelesaikan kalimatnya setelah matanya tertuju ke arahku.
“Maaf, anda siapa ?” tanya wanita yang kedua dengan nada heran. Di balik kaca matanya, matanya siaga memperhatikanku.
“Dinada Amriyani” sahutku ragu.
“Oh,…Selamat Datang di dR School, Nona Amriyani, saya Proffesor Rohanda” ujar wanita pertama tadi seraya mendekatiku dan mengangkat tangannya. “Senang bertemu denganmu Nona Amriyani” ujarnya sambil menjabat tanganku.
“Dan saya Proffesor Annazar, senang bertemu denganmu” sahut wanita kedua sembari menjabat tanganku.
“Kami sudah lama menunggu kedatangan anda Nona Amriyani, apakah anda telah menerima surat tanda bahwa anda di terima di sekolah ini Nona Amriyani ?” tanya wanita yang bernama Rohanda.
“Ya” jawabku bingung.
“Kami sangat kagum dengan prestasi yang telah anda capai di sekolah anda sebelumnya. Kami selalu mengawasi anda, maka dari itu kami mengirim surat penerimaan” sahutnya dengan tempo yang sedikit cepat. Aku tak bisa melakukan apa pun selain tersenyum.
“Baiklah mari saya antarkan anda menuju Aula, agar anda bisa bergabung dengan murid-murid baru lainnya” lanjutnya memegang  kedua pundakku. “Proffesor, kembalilah ke ruang kerja utama dan pastikan semua berjalan dengan lancar” serunya pada wanita yang bernama Annazar.
“Baiklah Nona Amriyani, saya yakin anda akan suka dengan pelajaran yang akan di ajarkan di sekolah ini” celoteh Prof. Rohanda di tengah perjalanan.
Di setiap jalan setapak, jalannya terbuat dari kerikil-kerikil kecil yang tersusun rapi. Tak ada satu pun sampah yang tergeletak di lantai. Semua bersih, sejauh mata memandang. Pohon-pohon indah tertata di taman sekolah. Prof. Rohanda membawaku ke sebuah gedung yang megah, gedung ini berukuran sangat luas dan mampu memuat banyak orang. Arsitektur gedung ini mirip seperti gedung yang di bangun di saat zaman Romawi kuno.
Prof. Rohanda mendorong pintu besar aula itu. Ratusan orang ada di balik pintu besar itu. Orang-orang itu sedang asik berceloteh satu sama lainnya. Prof. Rohanda mengajakku masuk ke Aula itu. Saat aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam aula itu, hatiku terkejut melihat ukiran-ukiran indah dan terawat di dinding aula. Prof. Rohanda menggerakan bibirnya dan menunjukan bangku yang kosong. Aku tak bisa mendengar apa yang di katakannya, karena begitu banyak suara yang bergema di aula itu. Setelah itu Prof. Rohanda berjalan menuju ke depan aula.
‘Ctk,ctk..’ jari panjang Prof. Rohanda mengetuk-ngetuk microphone. Serentak suasana di aula hening.
“Selamat datang kami ucapkan untuk murid-murid baru dR School. Kami mohon maaf, kepala sekolah Proffesor Darma Satya tidak bisa hadir kali ini. Sebagai gantinya, saya Proffesor Rohanda sebagai wakil kepala sekolah menyatakan penerimaan murid baru di Darma’s Riddle School-Sekolah Teka-teki Darma ini resmi di buka” ujarnya diiringi tepuk tangan riuh rendah dari murid-murid.
Di sekolah ini, terbagi tiga kelompok belajar. Pertama, Cosinus (Community of Scientist Genius) di kelompok ini terkumpul murid-murid yang selalu memecahkan teka-teki dengan ilmu alam, maka mereka yang berkumpul di kelompok ini akan di sebut Scientist (Ilmuan), kedua Sinus (Association of  Numerate Genius) di kelompok ini terkumpul murid-murid yang selalu memecahkan teka-teki dengan hitungan matematika, maka mereka yang berkumpul di kelompok ini akan di sebut Numerate (Ahli Hitung) dan yang ke tiga Tangen (Tactician Genius) di kelompok ini akan terkumpul murid-murid yang selalu memecahkan teka-teki dengan siasat, maka mereka yang berkumpul di kelompok ini akan di sebut Tactician (Ahli Siasat). Murid-murid baru di sekolah ini akan di test untuk menentukan kelompok berdasarkan kemampuan mereka memecahkan teka-teki yang akan di berikan oleh pihak sekolah.” ujar Prof. Rohanda melalui microphone.
“Hai,” ujar seorang perempuan yang duduk di sampingku.
“Hai” sahutku ramah.
“Namaku Fenichi Kudo, dan kau ?” sahut perempuan itu seraya mengangkat tangannya.
“Oh, namaku Dinada Amriyani” jawabku sambil menjabat tangannya.
“Kau warga baru di Singapore ?” tanya Fenichi.
“Ya, aku dan kedua orang tuaku menetap di sini. Kami baru saja tinggal disini selama satu bulan. Kami datang dari Philipina” sahutku.
“Philipina ? aku juga sebenarnya datang dari Jepang dan aku menetap di Singapore sejak lima tahun yang lalu” cerita Fenichi.
“Apa kau tahu lebih jauh tentang sekolah ini ?” tanyaku.
“Tentu saja, aku sering datang kemari untuk menjenguk kakakku yang sekolah di sini” jawabnya.
“Test akan di laksanakan dalam beberapa menit kemudian. Kusarankan kalian mempersiapkan diri sebisa mungkin selama menunggu” ujar Prof. Rohanda.
“Baiklah, untuk menunggu testnya siap, bagaimana kalau kalian coba untuk memecahkan teka-teki yang ku berikan” seru anak laki-laki di barisan seberang. Ukuran badannya yang besar dan suaranya yang menggelegar menarik pendangan semua orang di aula tersebut.
“Baiklah, ayo katakan teka-teki itu, kami siap menjawabnya dengan tepat” sahut anak laki-laki yang duduk tak jauh dari tempat duduk anak laki-laki yang berukuran besar itu. Akhir kalimatnya diiringi dengan teriakan setuju teman-teman di sekitarnya.
“Anak laki-laki yang gemuk itu bernama Ramurez, sedangkan laki-laki yang itu bernama Depalu” ujar Fenichi menunjuk kedua anak laki-laki tadi.
“Teka-teki pertama, Mengapa air memancar lebih jauh jika kita menekan ujung selang air tersebut ?” ujar anak laki-laki yang bernama Ramurez seraya mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah Depalu. Seketika mimik wajah Depalu berubah, ia tersenyum dan berkata.
“Itu karena, ujung selang yang kita tekan menyebabkan lubang selang semakin kecil yang berarti luas penampang ujung selang makin kecil, karena debit air sama, semakin kecil luas penampang, semakin besar kecepatan air yang mengalir, sehingga air akan keluar dari selang lebih jauh” sahut Depalu dengan penuh percaya diri.
“Baiklah, kau berhasil menjawab. Tapi, kau belum tentu bisa menjawab teka-teki-ku yang kedua” tantang Ramurez.
“Katakan saja” sahut Depalu sombong.
“Okey, seekor ayam dan seekor bebek memiliki massa yang sama yaitu dua kilogram. Kaki mana yang masuk lebih dalam ke tanah liat ? jawab !” ujarnya.
“Tentu saja kaki ayam, karena kaki ayam tidak memiliki selaput renang seperti kaki bebek yang dapat menahan tanah liat itu menenggelamkan kakinya lebih dalam” jawab Depalu.
“Kaki ayam yang masuk lebih dalam, tapi, alasan yang kau berikan itu kurang tepat,..” potong seorang anak laki-laki yang berdiri bersandar ke dinding aula. Wajah Ramurez dan Depalu tampak begitu terkejut dengan kalimat yang di ucapkan oleh anak laki-laki itu.
“Karena tekanan berbanding terbalik dengan luas bidang sentuh, jika dibandingkan dengan kaki bebek maka kaki ayam yang memiliki luas bidang sentuh yang lebih kecil akan menghasilkan tekanan yang lebih besar maka, kaki ayam masuk lebih dalam kedalam tanah liat. Itu semua termasuk dalam hukum Pascal”sahutnya dengan senyum sinis di ujung bibirnya.
Terdengar banyak desis kagum mendengar penjelasan anak laki-laki itu. Tapi, banyak juga yang mendesis melihat wajahnya yang tampan.
“Tampan,..” desis Fenichi menatap anak laki-laki itu dengan penuh rasa kagum.
“Kau tahu siapa dia ?” tanyaku.
“Aku gak tahu” jawab Fenichi singkat.
“Heh,.. siapa kamu ?” tanya Ramurez tak ramah.
“Namaku Lionel Lewis, kau bisa memanggilku Lionel. Kau pasti Ramurez kan ?” sahut anak laki-laki itu dingin.
Percakapan itu terhenti, Prof. Rohanda telah kembali dan dia berbicara kembali di microphone-nya.
“Baiklah, bagi anda yang namanya aku panggil, anda bisa berjalan ke sebuah lorong di sana” ujar Prof. Rohanda seraya menunjukan sebuah lorong yang ada di sebelah kanan aula.
“Lionel Lewis”
Anak laki-laki yang tadi memotong percakapan Ramurez berjalan menuju ke lorong yang tadi di tunjukan oleh Prof. Rohanda.
“Fenichi Kudo”
“Do’akan aku yah” sahut Fenichi seraya menepuk pundakku. Lalu dia berjalan mengikuti Lionel.
“Dinada Amriyani”
“Tenang” ujarku menenangkan diriku sendiri yang mulai bergetar tak menentu. Aku pun berjalan mengikuti Fenichi dan Lionel.
Di ujung lorong berdiri Prof. Annazar, setumpuk kertas di peluknya.
“Maaf, Proffesor, kalau saya boleh tahu, kemana kepala Sekolah ? selama saya ada di sini saya belum melihatnya” tanya Lionel pada Prof. Annazar.
“Kepala sekolah tidak bisa hadir untuk saat ini, beliau punya urusan penting. Mungkin sekarang beliau sedang ada di jalan menuju kemari” jawab Prof. Annazar meyakinkan.
“Baiklah, semua sudah terkumpul” ujarnya mengamati wajah kami satu per satu.
“Lionel Lewis, kau di sebelah sana” lanjutnya seraya menunjukan sebuah pintu di sebelah kiri.
“Fenichi Kudo, kau di sebelah sana”
Serentak Fenichi pun berjalan mendekati pintu yang bersebelahan dengan pintu Lionel.
“Dinada Amriyani, kau di sebelah sana”
Aku pun berjalan menghadap ke pintu di sebelah Fenichi.
“Di dalam pintu itu, terdapat sebuah simulasi TKP yang penuh dengan teka-teki yang harus kalian pecahkan. Mengerti ?!” jelas Prof. Annazar.
Aku menganggukan kepalaku untuk memberitahu Prof. Annazar bahwa aku telah mengerti. Rasa takut yang begitu hebat menyerangku. Tanganku gemetar, keringat membasahi telapak tanganku.
“Pada hitungan ke tiga, kalian buka pintu yang ada dihadapan kalian masing-masing. 1,…2,…3,…”
‘Crek,…’ dibalik pintu itu begitu gelap, tak tampak sedikit pun cahaya yang menerangi ruangan itu. Tapi, tak lama kemudian setitik cahaya muncul dengan sangat cepat. Dalam sekejap ruangan itu terang benderang, dan menyilaukan mataku. Mataku perih di buatnya.
Tiba-tiba saja sesosok wanita terbujur kaku di lantai yang dingin. Wajahnya pucat pasi. Luka memar hampir tampak di sekujur tubuhnya. Kutekukan kakiku di sebelah mayat wanita itu. Kuperhatikan tangannya, di pergelangan tangannya tampak garis-garis halus bekas lilitan tali. Mulut wanita itu sedikit terbuka. Ternyata, luka memar itu di sebabkan oleh suntikan yang di paksakan. Kuangkatkan tangan wanita itu dan kuamati luka memar itu.
Ku raih selang kecil yang ada di samping kananku. Kumasukan selang itu kedalam mulut wanita itu. Kutarik selang itu kembali. Kuamati lagi sekeliling simulasi TKP itu. Sebuah bantal tergeletak di samping kanan mayat wanita itu. Sejumlah suntikan yang masih lengkap dengan jarumnya berceceran di samping mayat. Selang yang ku gunakan tadi, kuamati dengan seksama.
“Teksturnya halus, panjangnya sekitar lima puluh centimeter” desisku mengamati. “Aku tahu jawabannya” seruku gembira.
Cahaya terang manyilaukan pandanganku. Seketika ruangan itu berubah menjadi gelap gulita seperti pertama aku masuk ke ruangan itu.
“Aku menunggu jawaban anda Nona Amriyani !” seru Prof. Annazar yang ternyata berdiri tepat di belakangku. “Apa yang menyebabkan wanita itu terbunuh ?” lanjutnya.
“Luka memar di sebabkan oleh jarum suntikan yang di masukan ke dalam tubuh dengan cara di paksakan. Mulut wanita itu sedikit terbuka, di pergelangan tangannya tampak garis-garis halus bekas lilitan tali. Selang yang kira-kira panjangnya lima puluh centimeter, dan sebuah bantal” analisisku ku jelaskan pada Prof. Annazar. “Jadi, dia di bunuh dengan cara di bekap oleh bantal. Si pembunuh ingin mencoreng nama baik wanita itu, jadi si pembunuh memasukan obat-obatan dengan cara menyuntikan obat-obatan itu. Tapi ternyata dugaan si pembunuh salah besar, obat-obatan itu tak bisa terbawa ke seluruh tubuh si korban. Karena pembuluh darah si korban telah berhenti. Karena panik, si pembunuh menyuntikan obat-obatan itu hampir di sekujur tubuh si korban. Dampak dari kesalahan si pembunuh itu tampak begitu jelas, bekas jarum suntik yang si pembunuh tancapkan berubah menjadi memar-memar. Lalu si pembunuh mengikat tangan si korban dengan selang yang berukuran lebih kurang lima puluh centimeter itu. Agar meyakinkan orang lain, bahwa si korban meninggal karena over dosis obat-obatan. Si pembunuh menunggu agar mayat wanita itu terbujur kaku dan segera melepaskan ikatan selang itu” jelasku.
“Lalu, kenapa kau mengira si korban di bunuh dengan cara di bekap ?” tanya Prof. Annazar.
“Di paru-parunya hanya ada udara Residu yang volumenya kecil dan kurang dari normal” jawabku singkat.
“Baiklah, analisismu lengkap. Tebakanmu tepat. Tapi, saya ingin bertanya pada anda. Kira-kira apa alasan si pembunuh melakukan pembunuhan itu ?” ujar Prof. Annazar.
“Saya rasa si pembunuh iri pada si korban. Karena si pembunuh berencana untuk merusak reputasi si korban dengan cara menyuntikan obat-obatan itu. Dan ini adalah kasus pembunuhan berencana” jawabku.
“Okey, kau lulus test ini Nona Amriyani. Dan anda termasuk kelompok Cosinus (Community of Scientist Genius). Selamat,..” ujar Prof. Annazar menjabat tanganku.
 “Bagaimana testmu tadi ?” tanya Fenichi sesampainya aku di aula besar itu lagi.
“Tak begitu buruk” sahutku seraya duduk di sampingnya.
“Aku masuk kelompok Tangen, kau ?” tanyanya sambil meraih kue yang ternyata telah di hidangkan oleh pihak sekolah di setiap meja.
“Cosinus” sahutku ikut meraih kue.
“Hai..” ujar seorang anak laki-laki berdiri di depan mejaku.
“Hai..” sahut Fenichi bersemangat.
“Namaku Lionel Lewis” ujar anak laki-laki itu.
“Namaku Fenichi Kudo” seru Fenichi antusias seraya menjabat tangan Lionel.
“Dan kau ?” kata Lionel sedikit acuh dengan tingkah laku Fenichi.
“Dinada Amriyani” jawabku tersenyum ramah.
“Boleh aku meminta puding apel itu ?” tanya Lionel sambil menatap puding apel yang ada tepat di hadapanku. Tangannya tetap di genggam oleh Fenichi.
“Tentu saja” sahutku memberikan puding apel itu. Lionel berusaha melepaskan tangan Fenichi yang tetap menggenggamnya.
“Terima kasih” sahutnya menerima puding apel itu setelah berhasil melepaskan tangannya dari genggaman Fenichi. Dia pun pergi begitu saja.
“Wah,.. tampan sekali anak itu” puji kagum Fenichi menatap punggung Lionel.
“Baiklah, semua murid baru telah mendapatkan kelompoknya masing-masing yang sesuai dengan kemampuannya. Sekarang, kalian akan kami perkenalkan dengan guru pembimbing kalian sesuai dengan kelompok yang telah kalian dapatkan. Proffesor Nitra Nelida, beliau adalah pembimbing kelompok Cosinus” seorang wanita mungil memakai jass hitam berdiri di ujung kanan Prof. Rohanda. Wanita yang bernama Prof. Nitra itu membungkuk memberi hormat dan tersenyum ramah.
“Apa semua seragam guru-guru ini jass hitam ?” tanyaku heran melihat jass yang di kenakan oleh setiap guru yang berjejer di depan.
“Tentu saja, itukan pakaian yang paling rapih dan paling sopan” jawab Fenichi sedikit acuh.
“Beliau akan mengajarkan semua tentang Ilmu Alam yang berhubungan dengan pemecahan teka-teki” lanjut Prof. Rohanda.
“Proffesor Mulya Dinata, beliau juga pembimbing kelompok Cosinus. Dan beliau pun akan mengajar kalian mengenai Ilmu Alam yang berhubungan dengan pemecahan teka-teki” lanjut Prof. Rohanda.
Sesosok pria membungkukan badannya memberi hormat. Senyumnya menghiasi wajahnya.
“Proffesor Gustrisna, beliau adalah pembimbing kelompok Sinus, Beliau akan mengajarkan semua tentang Ilmu Hitung yang berhubungan dengan pemecahan teka-teki” lanjut Prof. Rohanda.
Sesosok pria jangkung berwajah galak membungkuk memberi hormat. Senyum tak mekar di wajahnya.
“Proffesor Immawa, beliau juga pembimbing kelompok Sinus, Beliau akan mengajarkan semua tentang Ilmu Hitung yang berhubungan dengan pemecahan teka-teki” lanjut Prof. Rohanda.
Sesosok wanita dengan kacamata yang menempel di hidung bengkoknya membungkuk memberi hormat. Sama seperti Prof. Gustrisna, tak ada senyum manis mekar di wajahnya.
“Selamat, aku tak masuk ke kelompok Sinus” celetuk Fenichi.
“Kenapa ?” tanyaku heran mendengar Fenichi mengatakan kalimat itu.
“Aku tak suka pembimbing yang berwajah sangar seperti itu” jawabnya acuh.
“Proffesor Piandi, beliau adalah pembimbing kelompok Tangen, Beliau akan mengajarkan semua tentang Ilmu Siasat yang berhubungan dengan pemecahan teka-teki” lanjut Prof. Rohanda.
Sesosok pria berkumis tebal membungkuk memberi hormat. Senyum lebarnya tertutup oleh kumisnya yang tebal.
“Proffesor Resima, beliau juga pembimbing kelompok Tangen, Beliau akan mengajarkan semua tentang Ilmu Siasat yang berhubungan dengan pemecahan teka-teki” lanjut Prof. Rohanda.
Sesosok wanita cantik membungkuk memberi hormat. Senyumnya lebar, wajahnya yang cantik menarik semua pandangan orang-orang.
“Baiklah, semua pembimbing kelompok telah saya perkenalkan. Dan satu pembimbing test simulasi yang belum saya perkenalkan. Proffesor Annazar, beliau adalah pembimbing test simulasi TKP” ujar Prof. Rohanda.
Prof. Annazar membungkuk memberi hormat. Senyum sinisnya mekar di wajahnya.
“Ini sudah waktunya untuk beristirahat, setelah kita melewati hari yang sangat melelahkan ini” ujar Prof. Rohanda membosankan.
“Anggota baru Kelompok Cosinus akan menuju ke asramanya dan akan di antarkan oleh kakak kelas kalian sekaligus ketua kelompok Cosinus, Kaito Kudo” lanjut Prof. Rohanda.
Sesosok laki-laki berwajah oriental muncul dari lorong sebelah kiri aula. Senyumnya merekah di bibir anak laki-laki itu.
“Kaito ?!” seru Fenichi heran.
“Kenapa ?” tanyaku terkejut.
“Dia kakakku, dia belum pernah mengatakan bahwa dia salah satu kakak kelas yang berprestasi” sahut Fenichi antusias.
“Baiklah Fenichi, aku pergi duluan” ujarku berpamitan.
Aku mengikuti kemana Kaito berjalan. Berpuluh-puluh murid berjalan di belakangku. Mereka asik bercanda gurau. Aku dan murid-murid lainnya berjalan menaiki tangga yang berputar. Di ujung tangga, pintu besar berdiri. Kaito berjalan menghampiri pintu besar itu dan memutar pegangan pintunya ke arah kanan selama empat kali. Tiba-tiba saja muncul empat angka di atas pegangan pintunya.
“1812” desis Kaito.
‘Trek,..’ pintu besar itu terbuka.
Ruangan yang mirip sekali dengan ruang keluarga tampak di balik pintu besar tadi. Perapian, sofa hangat, karpet biru, dan ruangan ini mampu memuat seluruh anggota kelompok Cosinus. Banyak terdengar decak kagum orang-orang yang melihat ruangan ini.
“Asrama Putri di sebelah kanan, nama kalian di tempel di pintu kamar kalian masing-masing. Asrama Putra di sebelah kiri, nama kalian pun di tempel di pintu kamar kalian masing-masing” ujar Kaito mengarahkan.
Aku dan murid-murid putri lainnya berjalan ke lorong di sebelah kanan ruangan itu. Di lorong ini banyak sekali pintu yang bertuliskan nama pemiliknya. Empat belas kamar telah aku lewati, tapi, tak ada satu pun namaku yang tertuliskan di pintu kamar itu. Akhirnya aku sampai di sebuah perempatan jalan. Kiri, kanan, dan depan ? ke arah mana aku harus berjalan untuk menemukan kamarku ?
“Dinada Amriyani ?” sapa seorang anak perempuan bermata indah berdiri di sampingku.
“Ya, itu namaku” sahutku.
“Namaku Nikan Driyan. Kamarmu di sebelah kamarku” ujarnya menjabat tanganku.
“Lewat sini” ujarnya menunjukan jalan ke arah kiri. Pintu yang pertama ku lewati bertuliskan ‘Nikan Driyan’ dan pintu kedua yang ku lewati bertuliskan ‘Dinada Amriyani’.
“Inilah kamarmu” ujar Nikan. “Selamat beristirahat” lanjutnya tersenyum manis dan berjalan masuk ke kamarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar